Selasa, 15 Juli 2014

Perubahan UU MD3 Sarat dengan Kepentingan Tertentu


Setelah masa pemilihan presiden (pilpres) diselenggarakan, isu politik kembali menerpa Badan Legislatif Indoensia yang biasa disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Isu yang berkembang bukan mengarah pada isu positif berupa kinerja yang luar biasa dari anggota dewan, melainkan isu negatif yaitu dengan diresmikannya revisi mengenai UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Inisiator atas revisi UU MD3 tersebut datang dari komisi  DPR-RI yang diawaki oleh  Panitia khusus . Panitia Khusus (Pansus) ini diketuai oleh Benny K Harman dari Fraksi Demokrat. Nurul Arifin dari Fraksi Golkar, Fahri Hamzah dari Fraksi PKS, dan Ahmad Yani dari Fraksi PPP berperan sebagai wakil ketua.
Inti dari adanya Revisi UU MD3 ini adalah untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat/perwakilan rakyat yang bersih, akuntabel, efektif dan demokratis. Pansus berdalih bahwa selama ini anggota Dewan dan anggota MPR dianggap lemah posisinya dibandingkan dengan anggota dari lembaga eksekutif. Hal ini terlihat dari proses hukum yang berlaku ketika salah satu anggota dewan melakukan tindak pidana, dimana anggota dewan bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya sidang etik dari internal organisasi anggota dewan tersebut. Dengan demikian perubahan di dalam UU MD3 itu sendiri terletak dibidang:Badan Kehormatan Dewan akan diubaha menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan;
  1. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) akan ditiadakan dan dilebur menjadi Bdan Keahlian Dewan;
  2. Badan Anggaran (Banggar) resmi menjadi anggota kelengkapan tetap DPR;
  3. Pemilihan anggota dewan diubah tidak lagi berdasarkan perolehan suara terbanyak di dalam parlemen;
  4. Pemanggilan dan permintaan keterangan anggota dewan yang terlibat dalam tindak pidana harus mendapatkan permintaan ijin dari presiden, kecuali anggota dewan yang tertangkap tangan dan ancaman pidanya seumur hidup;
  5. Perubahan tata cara pemanggilan paksa dan penyanderaan anggota dewan.
Keenam poin diatas merupakan poin fundamental yang harus di uraikan secara rinci di dalam revisi UU MD3. Pada tanggal 8 Juli 2014, Rapat paripurna DPR-RI diselenggarakan untuk mengesahkan UU MD3. Akan tetapi didalam rapat tersebut diwarnai dengan aksi walkout dari para anggota dewan. Dari 467 anggota 12 anggota dewan dari Fraksi Hanura, 19 anggota dewan dari fraksi PKB, dan 78 anggota dewan dari fraksi PDI-P memilih walk out dari rapat peripurna. Sisanya anggota DPR-RI dari fraksi Demokrat, Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PPP secara aklamasi mengesahkan revisi UU MD3 tersebut. Perkembangan terkahir partai yang secara aklamasi mengesahkan revisi UU MD3 tersebut melakukan koalisis di dalam perlemen periode 2014-2019 yang disebut dengan koalisi merah putih .
Setelah diresmikan revisi UU MD3 diresmikan oleh DPR RI, maka terdapat banyak protes dari kalangan LSM, negarawan, aktivis, dan pakar politik. Bahkan masyarakat secara langsung terus mengikuti perkembangan UU tersebut melalui sosial media. Dari tanggapan masyarakt, penulis melihat bahwa masyarakat luas tidak setuju dengan adanya revisi di dalam UU MD3 ini. Hal ini terlihat adanya aksi solidaritas di media sosial seperti facebook, twitter, blogger, kaskus, dan lainnya untuk menggalakkan pengajuan judical review UU tersebut ke mahkamah konstitusi.
Banyaknya tanggpan negatif dari masyarakat dikarenakan revisi UU MD3 ini sarat dengan kepentingan politik demi melemahkan aparat berwenang untuk memberantas tindak pidana korupsi di tubuh anggota dewan (fakta menyebutkan bahwa sangat banyak anggota dewan yang terlibat korupsi). Hal tersebut terlihat dari poin ke-5 dan ke-6 latar belakang revisi UU MD3 ini. Sampai sekarang sudah banyak langkah yang ditempuh untuk melakukan judical review terhadap revisi UU MD3 ini. Berdsarkan informasi yang diperoleh dari www.simomot.com, terdapat 10 (sepuluh) alasan UU MD3 harus direvisi yaitu:
  1. DPR mengahapus kebijakan fraksi untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja fraksinya dan melaporkannya ke publik;
  2. DPR tidak wajib lapor pengelolaan anggaran keuangan kepada publik di laporan kinerja tahunan;
  3. DPR masih mempertahankan agar semua rapatnya dinyatakan tertutup;
  4. Anggaran MPR ditingkatkan, padahal kinerja MPR selama ini fokusnya hanya sebatas sosialisasi;
  5. Mekanismen pemilihan DPR tidak konsisten dan cenderung melanggar konsep keterwakilan;
  6. Dihapuskannya keterwakilan jumlah perempuan di DPR;
  7. Proses penyidikan pidana tertentu terhadap anggota DPR harus mendapat persetujuan dari Majelis kehormatan DPR;
  8. Untuk mendapatkan izin penyidikan dari presiden minimal 30 hari sejak ditetapkan jadi saksi atau tersangka;
  9. Hilangnya alat Badan Akuntabilitas Keunagan Negara sebagai alat kelengkapan tetap DPR;
  10. Adanya kewenangan DPR untuk mengusulkan pembangunan daerah dari Dapilnya dan berhak mendapatkan anggaran untuk hal tersebut;
Ketua DPR-RI Marzuki Ali

Sepuluh poin diatas menjadi rangkuman dosa DPR di dalam revisi UU MD3 ini. Sepuluh tuntutan yang akan di judical review ke mahkamah konstitusi telah disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil kepada Ketua DPR-RI yaitu Marzuki Ali. Namun, menanggapi hal tersebut Marzuki Ali mengatakan bahwa DPR mendukung segala upaya yang akan melakukan judical reveiw terhadap UU MD3 ini. Beliau mengatakan bawah dengan adanya judical review artinya masyarakat semakin paham akan pentingnya sebuah aturan dan aturan tersebut tidak melanggar aturan paling pokok yaitu UUD 1945. Apabila UU MD3 melanggar UUD 1945 maka DPR akan legowo untuk menerima agar pasal-pasal yang di judical review tersebut ditarik dari UU MD3. Selain itu, beliau menambahkan bahwa adanya mahkamah kehormatan bukan malah menghambat proses hukum, tetapi merapihkan sistem pemanggilan anggta dewan yang akan dipanggil dalam proses penyidikan baik sebagai saksi mapun sebagai tersangka seperti yang dimuat kompas.
Melihat banyaknya hal-hal yang bersifat sensitif di dalam revisi UU MD3 ini akan menimbulkan persepsi negatif dari kalangan masyarakat. Penulis sendiri merasa bahwa UU MD3 versi revisi ini masih terlalu dini, karena masih banyak anggota dewan yang belum taat hukum (padahal yang membuat hukum mereka). Masyarakat masih belum percaya dengan anggota dewan (termasuk saya sendiri), sehingga di dalam masyarakat masih muncul stereotype yang menyebutkan bahwa "anggota dewan membuat aturan untuk kepentingan mereka sendiri".
Timing adalah permasalahan dari revisi UU MD3 ini, kalau sekarang kita melihat bahwa Lembaga Tinggi Negara (salah satunya DPR dan MPR) posisinya sama dengan Posisi Eksekutif negara, sehingga diperlukan sebuah kewenangan yang lebih dari lembaga lainnya agar Lembaga tersebut dianggap terhormat. Akan tetapi, permasalahan korupsi yang merajalela di negara ini membuat masyarakat paranoid terhadap setiap tindakan yang mengatur sediit tentang perluasan kewenangan terutama ada yang berbau kewenangan terhadap hukum. 
Bagaimanpun juga penulis tetap mendukung adanya judical review terhadap UU ini, dan apapun hasilnya nanti mudah2an masyarakat bisa menerima dengan kepala dingin. (begu07).

0 komentar:

Posting Komentar