“Jika pengukuran MEF itu berdasarkan ancaman, artinya
angkanya harus berubah tiap tahun. Ancaman kita 10 tahun lalu, ancaman kita 5
tahun lalu, dengan ancaman kita hari ini, kan sudah berubah,” ucap Connie.
Ia menjelaskan, dinamika ancaman kawasan saat ini sudah
cukup kompleks. Oleh karenanya, penegasan terhadap paradigma outward looking
TNI yang sudah dicetuskan sejak reformasi 1998, perlu segera diwujudkan, tidak
sekadar wacana di atas kertas.
“Seperti ada ancaman ketika Tiongkok menetapkan kebijakan
green water policy. Green water policy Tiongkok akan masuk sampai pada Selat Malaka.
Dan blue water Tiongkok akan masuk sampai Samudera Hindia. Kalau kita mengukur
MEF dari ancaman tersebut, seharusnya sudah berubah hitungan MEF dari Kemhan
hari ini,” katanya.
Untuk matra laut, Connie berpandangan, Indonesia
setidaknya memerlukan 755 kapal perang KRI, 4 buah kapal induk, dan 22 kapal
selam. Kebutuhan ini untuk melindungi kepentingqan Indonesia, minimum hingga 60
tahun mendatang.
“Visi MEF saya bagaimana melindungi kepentingan Indonesia
minimum 60 tahun mendatang. Visi MEF hari ini itu per 10 tahun, susah. Itu cara
perhitungannya berbeda,” cetus Connie.
Dia melihat kemunduran cara berpikir dalam paradigma
pembangunan pertahanan Indonesia sekarang. Salah satunya, masih dominannya
orientasi pertahanan darat. Seharusnya, jika sejalan dengan doktrin outward
looking military, arah penguatannya ada pada matra laut dan udara.
“Paradigma pertahanan kita juga terlalu berorientasi
kepada daratan. Cara kita menetapkan ancaman kita juga dari darat. Kenapa kita
tidak seperti zaman nenek moyang kita dahulu, seperti kerajaan Ternate dan
Tidore misalnya? Mereka melihat ancaman itu dari laut. Makanya kenapa dulu
kekuatan maritim kita bisa sampai ke Madagaskar. MEF kita zaman sekarang kalah
dengan MEF kita zaman Tidore. Cara berpikir kita sekarang benar-benar mundur,”
pungkasnya
0 komentar:
Posting Komentar