Jumat, 20 Juni 2014

Pemilu LUBER, dan JURDIL Nasibmu Kini.....


PEMILU (Pemilihan Umum), pertama kali dilaksanakan di Indonesia, berdasarkan azaz Demokrasi pada Tahun 1955, di masa pemerintahan Ir. Soekarno. Pemilu pertama yang dilaksanakan ini diikuti oleh 28 Partai (kalau tidak salah ya). Pemilu pertama ini sangat dinantikan oleh bangsa Indonesia, karena melalui Pemilu ini, masyarakat dilibatkan secara langsung menentukan masa depan bangsa. Berangkat dari masalah tersebut, maka tidak heran Pemilu pertama langsung mempunyai semboyan Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia serta Jujur dan Adil atau yang lebih sering disebut dengan semboyan LUBER dan JURDIL.

Semboyan LUBER dan JURDIL mempunyai makna sebagai berikut (sumber: dari berbagai blog dan ulasan sejarah):

  1. Langsung berarti pemilih (WNI) yang sudah mempunyai hak pilih bisa secara langsung memberikan hak pilihnya;
  2. Umum berarti semua WNI yang masuk dalam kategori yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang untuk menerima hak memilih;
  3. Bebas artinya setiapWNI yang sudah punya hak pilih bebas untuk memilih siapapun dan calon apapun;
  4. Rahasia artinya setiap pemilih berhak merahasikan pilihannya dan orang lain tidak berhak untuk mengetahui siapa pilihan pemilih;
  5. Jujur artinya pemilu yang dilaksanakan harus jujur tanpa ada kecurangan dan sesuai dengan ketentuan yang ada;
  6. Adil artinya bahwa pemilu yang dilaksanakan harus adil baik untuk pemilih maupun untuk yang dipilih tanpa ada unsur paksaan, penciptaan kondisi, propaganda,black campaign, dsb.
Semboyan LUBER dan JURDIL merupakan unsur filosofis yang sangat mendalam bagi penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Selama Orde Lama, pelaksanaan Pemilu diselenggarakan dengan baik, dengan berazazkan unsur-unsur filosofis tersebut. Di masa orde baru mungkin ada paksaan bagi para PNS untuk menentukan pilihannya sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa (pengakuan orang tua sendiri), dan pada saat itu terdapat pembatasan Partai Politik dengan adanya Undang-Undangan Subversi sehingga secara langsung poin Adil bisa dinyatakan gugur. Pada Saat era Reformasi (1999) dilaksanakan Pemilu legislatif dengan sangat bebas (48 Partai Politik), UU Suversi dihapuskan dan PNS pada saat itu tidak dikekang lagi oleh pemerintah sehingga terdapat pemerataan suara (tidak ada partai politik yang menang mutlak). Pemilihan Presiden dilaksanakan melalui Rapat Paripurna DPR-RI melalui voting terbuka dan Pemilhan pada waktu itu sudah mulai menghilangkan semboyan LUBER dan JURDIL dimana pada waktu itu para anggota dewan secara gamblang mengatakan dukungan pada calon tertentu.
Pemilu Tahun 2004 merupakan awal tonggak sejarah baru di Indonesia dimana penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota Legislatif, DPD, dan Presiden (wow). Dengan demikian, prinsip LUBER dan JURDIL terakomodir semuanya untuk meilih unsur penting dalam penyelenggaraan pemrintahan di Indonesia. Sama halnya dengan tahun 2004, Pemilu di tahun 2009 juga menggunakan konsep yang sama. Pada tahun 2009 penyelenggaraan Pemilu sudah mulai mengalami perubahan dalam sistem persiapan (kampanye). Banyak para peserta Pemilu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan perhatian pemilih baik cara yang positif maupun yang negatif (politik (+/-)). Hal tersebut berlanjut ke Pemilu di tahun 2014, dimana pada pemilihan legislatif banyak yang melakukan kegiatan kampanye seenak hati (padahal ada aturan kampanye). '
Pemilihan legislatif sudah selasai dilakukan oleh pemerintah, banyak orang memberikan pandangan baik oleh pengamat profesional maupun pengamat amatiran. Mereka mempunyai pendapat masing-masing tentang penyelangaaran pemilu legislatif tahun ini.  Ada pihak yang mengatakan bagus, ada pihak yang mengatakan hancur (biasanya karena kalah), ada pihak yang mengatakan biasa saja. Well, apapun itu Pemilu legislatif sudah selesai dan parpol yang paling banyak mengumpulkan suara sudah diumumkan. Sekarang perhatian banyak orang tertuju pada pemilihan presiden (semua mata tertuju padamu). Pelaksanaan Pemilu presiden kali ini agak nyeleneh menurut saya. Para calon yang akan berkompetisi banyak menggunakan teknologi sosial media untuk melakukan kampanye. Selain itu, para peserta kompetisi juga banyak menggandeng media untuk menggiring opini publik demi mendapatkan dukungan atau simpati. Cilakanya, banyak para pendukung (masyarakat/WNI/Pemilih) yang mulai ikut terjun dengan memberikan dukungan, opini, pandangan, maupun aksi-aksi nekat lainnya. Secara langsung para perserta Pilpres sengaja mengajak masyarakat untuk menentukan pilihannya sebelum hari H. Ini merupakan fenomena baru pada praktik berpolitik di Indonesia. Sosial media maupun media-media elektronik berhasil menggiring masyarakat untuk menentukan pilihan mereka diluar bilik suara dengn berbagai metode yang ditawarkan, adanya yang melalui survey, penggunaan atribut-atribut tertentu maupun lainnya. Ada berbagai macam slogan, misalnya i stand on the right side ada slogan selamatkan Indonesia , dan masih banyak lainnya. Saya sendiri menanggapi hal ini sebagai keberhasilan para calon untuk menggiring opini publik mengenai mereka. Para calon seakan memaksakan pelaksanaan Pilpres bukan pada tanggal 09/07/2014, tetapi dilaksanakan sebelum tanggal tersebut. Hal ini dibuktikan dari banyaknya para peserta pemilih yang secara to the point  menyampaikan dukungannya (harusnya sih rahasia). 
Kejadian ini menjadi miris ketika para pendukung calon mulai bergeliat di media sosial untuk menyampaikan kepada yang lain agar memilih calon yang sama dengan yang dipilihnya. Hal ini berlaku bagi masing-masing pendukung calon. Ketika para pendukung calin ini dihadapkan, maka yang ada masing-masing pendukung akan saling mengejek, menghina, memburuk-burukan, melecehkan, calon yang lain. Inilah yang menjadi masalah pada pelaksanaan Pilpres nanti, dengan banyaknya pengamat amtiran yang kurang mumpuni untuk berpolitik, memberikan dan menyampaikan analisa dangkal dan cenderung menjatuhkan salah satu calon. Seharusnya para calon menghormati pilihan setiap pilihan masyarakat, tidak melaksankan gerilya penciptaan kondisi untuk mengambil simpati masyarakat melalui media dan sosial media. Semboyan Rasia luhur artinya, sehingga jangan diambil maknanya, karena akan memberikan dampak negatif bagi kestabilan bangsa. Kalau persiapan Pilpres tetap seperti ini, maka pada Pemilu kedepannya KPU tidak perlu menyampaikan semboyan LUBER dan JURDIL dan menyediakan bilik suara di setiap tempat pemungutan suara. Salam Pemilu Positif (begu-07).

0 komentar:

Posting Komentar