Sabtu, 29 November 2014

Negara Sebagai Privat dalam Hukum Perdata Internasional

Dalam mata kuliah Hukum Kontrak Dagang Internasional, saya diajarkan oleh pak Dr. Agus Broto Susilo, MA.,SH. Beliau sangat kritis dalam setiap pelajaran dan selalu memberikan pengetahuan yang baru setiap kali bertatap muka di kelas. Wawasan beliau sangat luas dibidang hukum dan pertahanan, maka tidak heran beliau sekarang menjadi staf ahli di Kementerian Pertahanan. Mengawali pembelajaran beliau menanyakan mengenai tugas terstruktur I yang telah beliau suruh pada pertemuan sebelumnya. Adapun tugas tersebut adalah bagaimanan posisi hukum kontrak dagang internasional dalam hukum perdata internasional dan apa perbedaan negara sebagai entitas privat dan entitas publik dalam sistem hukum internasional. Kami sudah memberikan jawaban masing-masing yang dikumpulkan oleh beliau. Saya merasakan bahwa jabawan saya masih kurang yakin sehingga saya dengan agak berani menanyakan kepada beliau jawaban sesungguhnya.
Beliau mulai menjawab dari perbedaan antara entitas negara sebagai privat dan publik di dalam hukum perdata internasional. Syarat sebuah negara adalah mempunyai masyarakat, berdaulat, wilayah dan diakui oleh internasional. Nah, negara sebagai subjek hukum publim ketika posisi negara membicarakan mengenai kewilayahannya, akan tetapi selain membicarakan kewilayahan, maka negara akan menjadi subjek hukum privat. Misalnya, ketika Indonesia membicarakan mengenai bata-batas teritorial dengan Malaysia, maka Indonesia menjadi entitas hukum publik, sebaliknya ketika Indonesia membicarakan atau membuat kontrak dengan Malaysia mengenai pengelolaan CPO, maka Indonesia menjadi entitas privat. Kemudian beliau menjelaskan lagi, karena kontrak dagang Internasional merupakan sebua sistem hukum privat (diluar kewilayahan) maka posisi hukum kontrak dagang internasional di dalam hukum perdata internasional adalah sebagai hukum privat.
Mendengar jawaban beliau saya merasa puas karena sejalan dengan jawaban yang sudah saya kumpulkan sebelumnya. 
Sebelum materi perkuliahan dilanjutkan, saya dengan iseng bertanya kepada beliau. pertanyaan saya kira-kira seperti ini: "Ijin pak, menanggapi mengenai kontrak dagang internasional ini, saya ingin bertanya, kalau memang dalam sistem hukum perdata internasional kontrak dagang internasiona merupakan privat, dan negara bisa bertindak sebagi entitas privat dalam perdangan internasional, kenapa para instansi di negara kita ini sangat senang melakukan pengadaan baik barang dan jasa menggunakan pihak ketiga?. Mendengar pertanyaan saya itu, beliau langsung tersenyum karena beliau memang sangat aktif menyusun klausul kontrak di Kementerian pertahanan dalam hal pembelian Alutsista dari luar negeri. Beliau menjawab bahwa negara kita ini sangat suka dengan makelar tidak tau kenapa, mungkin karena makelar itu bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah bagi mereka yang berhasil melakukan kerjasama. Tidak bisa dipungkiri ketika menggunakan pihak ketiga (G2B2G) dimana bussiness  menjadi perantara antara 2 negara yang berbeda untuk melakukan kontrak maka tidak mungkin tidak ada yang bisa dihasilkan pundi2  rupiah dari kegiatan tersebut. Makanya dalam hal pengadaan alutsista, saya sangat mendukung adanya peraturan pelaksanaa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, karena di dalam UU tersebut secara gamblang dikatakan bahwa pengadaan alutsista harus melalui mekanisme G2G.
Saya lumayan senang mendengar hal tersebut, karena memang pembelian alutsista menggunakan makelar akan sangat merugikan negara karena kerawanan markup anggaran yang cukup besar.

Kemudian, beliau saya pancing lagi dengan isu kenaikan BBM dengan bertanya "Kenapa Indonesia harus membeli BBM (RON 88 atau 95) dari Petral?". Mendengar pertanyaan saya tersebut, beliau kembali tersenyum-senyum karena memang dari awal pembentukan petral secara mandiri beliau sudah melakukan penelitian yang menganggap bahwa Petral memang tidak perlu ada (berperan sebagai makelar) dalam proses pembelian BBM dari Singapura. Beliau kemudain sharing  lagi bahwa Kementerian ESDM sebagai instansi pemerintah tidak bisa melakukan kegiatan bisnis, memang benar, kemudian Pertamina sebagai pengelola minyak bumi di Indonesia dari Hulu-Hilir berperan sebagai BUMN dengan SANGAT BISA melakukan kegiatan bisnis. Akan tetapi pemerintahan SBY periode I melakukan blunder dengan dikeluarkannya UU Migas dan membentuk perangkat kerja pemerintah dengan garis koordinasi ke Kementerian ESDM yang dulunya adalah BP MIGAS (sekarang jadi SKK Migas). Dulu pada zaman SBY BPH Migas sangat berpengaruh di dalam menentukan proses trading  minyak di Indonesia (katanya sih agar bisa mengawasi pertamina), untunglah ada sebagian orang-orang iseng (salah satunya beliau) yang melakukan judical review terhadap UU Migas ke MK. Kemudian MK memutus perkara tersebut dengan putusan agar BPH Migas dibubarkan, karena memang inkonstitusional , belum lagi semua tupoksinya bisa di alihkan ke Pertamina. Kemudian beliau menjelaskan bahwa SKK Migas yang masih ada sampai sekarang masih  inkonstitusional dan sayang beliau sudah malas melakukan diskusi dengan rekan2nya yang iseng untuk melakukan tuntutan ke MK lagi. Beliau menjelaskan bahwa keberadaan Petral memang SANGAT TIDAK PERLU karena tadi bahwa Indonesia melalui Pertamina bisa langsung membeli minyak ke Singapura, akan tetapi karena para pengelola negara sekarang ini kebanyakan mafia migas, maka semuanya adem ayem saja. Beliau juga menambahkan bahwa sekalipun Petral dipindahkan ke Jakarta, tidak akan memberi pengaruh apa2 karena sistem impor BBM masih menggunakan pihak ketiga (makelar) yang dia sinyalir merupakan KAWANAN MAFIA tersebut.
Diskusi semakin menarik, kemudian saya tanya lagi, "Apakah bapak punya analisa mengenai kenaikan BBM ini?. Beliau menjawab bahwa kenaikan BBM sekarang ini hanya bentuk pemerintah bersilat lidah dengan mengatakan adanya pengalihan subsidi , pemerintah hanya mentransfer beban subsidi (umumnya beban fiskal) kepada masyarakat sehingga masyarakat lah yang menanggung beban kenaikan BBM tersebut. Karena jawabanya agak kurang srek dihati saya, pertanyaan saya lanjutkan lagi , Bukanlah memang seharusnya BBM naik, karena memang produksi BBM kita minor dibandingkan dengan penggunaan BBM di masyarakat, sehingga negara harus mengimpor selisih kebutuhan tersebut setiap harinya?. Belaiu kembali tertawa, karena mungkin beliau punya argumen yang lebih mantap dari pemerintah, sejenak beliau mengambil HP dan melihat2 data di Hpnya dan mengatakan bahwa biaya refinary (penyulingan) crude ke BBM di seluruh dunia dirata-ratakan hanya $5-$10 /barel, kita ambli maksimalnya yaitu $10/barel, harga minya bumi saat ini berada di level $70/barel, kalau dihitung biayanya semuanya adalah $10+$70=$80/barel dikalikan dengan Rp 12.000=rp.960.000 kemudian dibagi 159 (1 L=159 liert) maka keluar angka Rp 6.037/liter. Sementara pemerintah menjual BBM dilevel Rp 8500, maka pemerintah masih ada saving sekitar Rp 1963/liter BBM yang dijual. 
Mendengar jawaban beliau saya agak kurang terima karena saya lebih pecaya duluan dengan penjelasan pemerintah, kemudian saya bertanaya lagi, " Lah, data bapak mengenai biaya refinary diangka $5-$10 /barel bapak dapat darimana?. Beliau kemudian menjeaskan bahwa kalau anda membeli saham disalah satu perusahaan migas, harusnya anda tau dong berapa biaya refinary crude sampai ke BBM, sama halnya kayak saya. Mendengar jawaban beliau, kemudian saya langsung shock karena kalau beliau memang nvest  diperusahaan minyak maka data itu pasti benar adanya. Dengan demikian pemerintah salah ambil kebijakan dong, sebelum saya bertanya hal tersebut beliau langsung menjawab bahwa sebenarnya mau pemerintah menaikkan harga BBM ke level tertinggi sekalipun tidak masalah, yang paling penting adalah pemerintah bisa menjeaskan berapa sih crude yang kita produksi/hari, kemudian berapa sih biaya refinary crude sampai menghasilkan BBM?, terus berapa biaya shipping sampai ketangan konsumen?. Apabila hal tersebut bisa dijelaskan pemerintah maka, tidak akan ada lagi pro dan kontra mengeni kenaikan BBM ini. 
Saya sangat bersyukur hari ini bisa mendapatkan ilmu yang pentinf dari dosen ini, karena bagaimanapun diforum2 yang ada di dunia maya, para pengguna melakukan debat kusir yang tidak ada arah dan tujuan mengenai posisi petral, kenaikan harga BBM, KKKS tambang mineral, KKKS tambang emas, KKKS tambang batubara, KKKS tambang migas di Indonesia. Melihat penjelasan beliau, sebenarnya dasarnya hanya satu yaitu Isi Klausul Kontrak. Apabila isi klausul kontrak menguntungkan bagi masyarakat, maka seharusnya negara ini pasti sejahtera di semua lini karena mereka2 yang menjalankan pemerintah ini berlaku secara konstitusional. Akan tetapi yang terjadi di negara ini malah sebaliknya, para pemangku kebijakan banyak bertindak secara inkonstitusional dengan melegalkan kontrak-kontrak yang jelas2 melanggar UUD 1945. Konstitusi dengan gampang dimainkan para MAFIA agar bisa menghasilkan kekayaan pribadi masing-masing, kalau masalah ini masih terus berlarut2 maka tidak heran negara ini akan begini2 saja terus menerus tanpa ada perkembangan yang berarti. Keterbukaan pemerintah mengenai setiap kontrak yang dilakukan secara G2G ataupun G2B merupakan salah satu solusi agar semua lini bisa memperbaiki negara ini dari korupsi. Karena seperti yang dijelaskan di dalam UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa kontrak dagang bukan merupakan informasi yang dikecuaikan sehingga seharusnya memang terbukan buat masyarakat. 
Selain itu, pemerintah juga harus berani memotong secara sepihak kontrak dangang apabila kontrak tersebut bertentangan dengan konstitusi karena memang secara hukum perdata internasional hal tersebut dilegalkan dengan prinsip Rebus Sic Stantibus, sehingga rakyat bisa sejahtera. Memaksimalkan pengawasan rakyat adalah tujuan luhur dari sistem demokrasi (meskipun menurut plato sistem pemerintahan secara demokrasi merupakan yang terburuk kedua setelah tirani). Kontrak Dagang yang melibatkan negara harus transparan dan tidak harus didukung oleh prinsip Pacta Sunt Servanda. 

0 komentar:

Posting Komentar