Minggu, 20 Juli 2014

Sengketa Paten Antara Samsung dan Apple

Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan sebuah produk hukum yang dilahirkan oleh dunia internasional untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi. Tantangan teknologi tersebut adalah maraknya penemuan-penemuan yang dilakukan oleh para ahli dibidangnya masing-masing yang sangat bermanfaat demi kemajuan hidup manusia. HAKI berupaya melindungi hasik cipta rasa dan karsa individu yang telah menuangkan ide dan pemikirannya dalam sebuah karya nyata, kemudian didaftarkan sebagai hak milik si penemu, ketika orang lain atau organisasi lain ingin menggunakan karya tersebut, maka harus membayar penemu tersebut sesuai dengan yang telah ditetapkan di dalam peraturan yang berlaku. Peraturan yang berlaku tersebut adalah peraturan mengenai paten. Setiap penemuan yang telah didaftarkan ke dalam organisasi paten, maka si pemilik paten tersebut akan mendapatkan hak yang kemudain disebt dengan istilah hak paten. Hak Paten merupakan salah satu bagian dari HAKI. Secara umum, hak paten bisa diartikan sebagai hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas sebuah hasil karya  invensinya dalam bidang teknologi dengan jangka waktu tertentu (UU 14/2001 tentang paten, pasal 1 ayat (1)). Oleh sebab itu, hak paten akan selau berhubungan dengan sebuah penemuan benda, alat, atau barang tertentu.
Dalam perkembangannya, penerapan hukum tentang hak paten tidak berjalan semulus dengan yang diharapkan. Banyak terjadi kasus-kasus besar yang berkaitan dengan hak paten, baik di dalam negeri maupun diluar negeri. Kasus tersebut secara garis besar mencuat gara-gara adanya 2 pihak yang saling klaim akan hak paten, adanya salah satu pihak yang menggunakan hasil penemuan inventor tetapi tidak membayarkan hak paten, dan lainnya. Untuk menyelesaikan masalah sengketa hak paten ini tidak segampang membalikkan tangan. Banyak kasus sengketa hak paten yang mencuat ke permukaan tetapi tindak lanjutnya tidak ada. 

Selasa, 15 Juli 2014

Perubahan UU MD3 Sarat dengan Kepentingan Tertentu


Setelah masa pemilihan presiden (pilpres) diselenggarakan, isu politik kembali menerpa Badan Legislatif Indoensia yang biasa disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Isu yang berkembang bukan mengarah pada isu positif berupa kinerja yang luar biasa dari anggota dewan, melainkan isu negatif yaitu dengan diresmikannya revisi mengenai UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Inisiator atas revisi UU MD3 tersebut datang dari komisi  DPR-RI yang diawaki oleh  Panitia khusus . Panitia Khusus (Pansus) ini diketuai oleh Benny K Harman dari Fraksi Demokrat. Nurul Arifin dari Fraksi Golkar, Fahri Hamzah dari Fraksi PKS, dan Ahmad Yani dari Fraksi PPP berperan sebagai wakil ketua.
Inti dari adanya Revisi UU MD3 ini adalah untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat/perwakilan rakyat yang bersih, akuntabel, efektif dan demokratis. Pansus berdalih bahwa selama ini anggota Dewan dan anggota MPR dianggap lemah posisinya dibandingkan dengan anggota dari lembaga eksekutif. Hal ini terlihat dari proses hukum yang berlaku ketika salah satu anggota dewan melakukan tindak pidana, dimana anggota dewan bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya sidang etik dari internal organisasi anggota dewan tersebut. Dengan demikian perubahan di dalam UU MD3 itu sendiri terletak dibidang:Badan Kehormatan Dewan akan diubaha menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan;
  1. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) akan ditiadakan dan dilebur menjadi Bdan Keahlian Dewan;
  2. Badan Anggaran (Banggar) resmi menjadi anggota kelengkapan tetap DPR;
  3. Pemilihan anggota dewan diubah tidak lagi berdasarkan perolehan suara terbanyak di dalam parlemen;
  4. Pemanggilan dan permintaan keterangan anggota dewan yang terlibat dalam tindak pidana harus mendapatkan permintaan ijin dari presiden, kecuali anggota dewan yang tertangkap tangan dan ancaman pidanya seumur hidup;
  5. Perubahan tata cara pemanggilan paksa dan penyanderaan anggota dewan.

Minggu, 13 Juli 2014

Pemilihan Presiden Sarat dengan Adegan Para Intel

Pemilihan Presiden untuk periode 2014-2019 telah selesai dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2014. Pemilu Presiden dilaksanakan secara serentak diseluruh Indonesia ini berjalan dengan lancar dan aman. Tidak ada kendala berarti yang diketahui selama proses penghitungan suara, meskipun di beberapa TPS masih terdapat beberapa kecurangan dan kelalaian para petugas KPPS.
Setiap adanya pesta rakyat berupa pemilihan umum baik tingkat daerah maupun nasional, ada sebuah fenomenan baru yang sangat berpengaruh di dalam proses pemilihan tersebut. Fenomena itu adalah proses penghitungan cepat (quick count) yang diselenggarakan para surveyor dengan metode pengambilan sampling secara acak (random sampling) dan mewakili seluruh populasi. Biasanya disetiap pemilihan umum, hasil hitung cepat yang ditunjukkan oleh berbagai lembaga survey bisa dikatakan mempunyai margin eror (tingkat kesalahan) sampai 0,05% (sangat kecil) jika dibandingkan dengan hasil perhitungan manual (real count).
Pada Pilpres 2014, terjadi perubahan paradigma yang menunjukkan hasil perhitungan cepat yang diselenggarakan oleh para lembaga survey. Setelah selesainya proses pemungutan suara pada tanggal 9 Juli sekitat pukul 13.00 WIB, maka para petugas KPPS melakukan penghitungan suara. Dari proses perhitungan suara tersebut, maka di media sudah muncul beberapa data dari lembaga survey yang menunjukkan hasil quick count.

Selasa, 01 Juli 2014

MEF Indonesia dan Ancaman Kawasan


Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, berpendapat, perlu ada koreksi mendalam tentang pendekatan penyusunan Minimum Essential Force (MEF) Indonesia. Selama ini, dia menilai, pelaksanaan MEF hanya terfokus pada pendekatan anggaran yang tersedia, tidak didasarkan pada ancaman yang berkembang. Jika ini terus dilakukan, MEF tidak akan tercapai.
“Jika pengukuran MEF itu berdasarkan ancaman, artinya angkanya harus berubah tiap tahun. Ancaman kita 10 tahun lalu, ancaman kita 5 tahun lalu, dengan ancaman kita hari ini, kan sudah berubah,” ucap Connie.
Ia menjelaskan, dinamika ancaman kawasan saat ini sudah cukup kompleks. Oleh karenanya, penegasan terhadap paradigma outward looking TNI yang sudah dicetuskan sejak reformasi 1998, perlu segera diwujudkan, tidak sekadar wacana di atas kertas.
“Seperti ada ancaman ketika Tiongkok menetapkan kebijakan green water policy. Green water policy Tiongkok akan masuk sampai pada Selat Malaka. Dan blue water Tiongkok akan masuk sampai Samudera Hindia. Kalau kita mengukur MEF dari ancaman tersebut, seharusnya sudah berubah hitungan MEF dari Kemhan hari ini,” katanya.
Untuk matra laut, Connie berpandangan, Indonesia setidaknya memerlukan 755 kapal perang KRI, 4 buah kapal induk, dan 22 kapal selam. Kebutuhan ini untuk melindungi kepentingqan Indonesia, minimum hingga 60 tahun mendatang.