Minggu, 28 September 2014

RUU Pilkada diketok: Rakyat Melawan

Dinamika revisi UU Pilkada akhirnya berakhir juga. Para anggota DPR mengetok palu bahwa pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) akhirnya kembali dipilih oleh DPRD. Paripurna yang dilaksanakan oleh DPR RI cukup panas dan berlangsung alot karena tidak semua fraksi anggota dewan yang setuju opsi Pilkada melalui DPRD. Dalam rapat paripurna, ketua rapat paripurna menyediakan 2 opsi dalam revisi UU Pilkada yaitu Pilkada langsung atau Pilkada DPRD. Dari semua fraksi di DPR RI, Fraksi PDI-P, PKB, Hanura memilih opsi Pilkada langsung, sedangkan dari Fraksi Golkar, PPP, PAN, Gerindra, PKS, memilih Pilkada melalui DPRD. Sementara fraksi Demokrat dengan mayoritas anggotnya memilih Opsi ketiga yaitu Pilkada langsung dengan syarat 10 perbaikan.
Proses rapat paripurna sendiri berjalan sangat alot, dimana terjadi deadlock keputusan antara Pilkada Langsung dengan Pilkada DPRD. Opsi ketiga yang ditawarkan oleh Demokrat sendiri ditolak oleh pimpinan rapat, sementara apanila dipaksakan dengan konsep 2 opsi maka hujan interupsi pun sangat banyak. Oleh karena itu, pimpinan rapat mengambil keputusan untuk melakukan skors rapat paripurna sekaligus diadakannya lobi antar fraksi untuk menentukan opsi yang akan diambil.
Pada saat lobi fraksi, kubu FPDIP, PKB, dan Hanura melakukan koordinasi dengan Fraksi Demokrat untuk menggolkan Pilkada langsung dengan ospi perbaikan di 10 bidang. Kubu PDIP, PKB, dan Hanura setuju dengan opsi tersebut, dengan catatan bahwa syarat uji publik yang diajukan oleh Demokrat tidak dilakukan oleh DPRD akan tetapi dilakukan oleh Praktisi maupun akademisi sehingga tidak ada kepentingan politik. Berdasarkan catatan tersebut, tidak jelas apakah Demokrat setuju atau tidak, karena tidak adanya unsur penolakan ataupun penerimaan akan catatan tersetut.
Setelah rapat kembali dilanjutkan, pimpinan rapat melakukan opsi musyawarah untuk menentukan opsi Pilkada. Pimpinan rapat memberikan kesempatan kepada masing-masing fraksi melalui juru bicaranya untuk menyampaikan pandangan dan pendapat fraksi. Hampir sama dengan rapat sebleumnya kubu PDIP dan Gerindra berbeda pendapat, dimana kubu PDIP menginginkan Pilkada tetap dengan format langsung sedangkan kubu Gerindra (Koalisi Merah Putih) memilih agar Pikada Langsung diganti dengan Pilakda DPRD. Melihat tidak banyak perubahan dari rapat sebelumnya, akhirnya pimpinan rapat meminta pendapat dari Fraksi Demokrat mengenai pandangannya tentang konsep Pilkada setelah adanya lobi fraksi. Dari penyampaian juru bicara partai Demokrat, Beny Harman menyampaikan bahwa Demokrat berada pada jalur tengah (netral) jadi tidak ingin menyakiti hati rakyat maka demokrat memilih walkout (WO). Dengan sikap WO ini, maka pimpinan DPR mempersilahkan Demokrat untuk meninggalkan ruang sidang. Karena musyawarah tidak dicapai dengan baik, maka pimpinan rapat mengambil kebijakan untuk voting untuk mengambil keputusan. Setalah voting akhirnya kubu PDIP kalah jumlah dengan kubu Gerindra (KMP) sehingga pimpinan DPR memngesahkan revisi UU Pilkada resmi kembali oleh DPRD.

Penetapan tersebut mendapat respon beragama dari masyarakat, banyak kalangan masyarakat yang pro dan kontra. Dari sumber di dunia maya, para netizen umumnya tidak setuju dengan konsep Pilkada melalui DPRD karena sama saja dengan mengikat hak rakyat, dan Indonesia kembali lagi ke masa orde baru. Banyak para netizen menggalang dukungan untuk mengajukan uji materi ke MK sehingga UU Pilkada DPRD bisa dibatalkan. Kekecawaan masyarakat akhirnya dilimpahkan kepada Demokrat dan keumnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena Demokrat memilih untuk WO dari rapat paripurna, padahal andaisaja Demokrat setuju untuk memilih opsi Pilkada langsung, maka dengan voting maka opsi Pilkada Langsung akan terpilih. Hal ini karena Demokrat memiliki anggota DPR paling banyak di DPR -RI. Banyak kalangan bahkan mencaci maki SBY sebagai Presiden dan produk Demokrasi malah mendukung kemunduran Demokrasi di Indonesia.
Presiden SBY tidak berada di Indonesia pada saat paripurna sehingga beliau tidak bisa mengontrol rapat paripurna secara langsung. Dengan WO nya Demokrat, maka secara kaget SBY menyamapaikan bahwa dirinya sendiri kaget dan akan mengusut tuntas siapa dalang di balik Wo nya Partai Demokrat. Disamping itu SBY meminta konsultasi hukum dengan ketua MK Hamdan Zoelva, untuk memilih upaya hukum yang bisa dilakukan agar bisa membatalkan UU Pilkada tersebut.
Pendapat saya pribadi lebih kearah kebijakan sang presideng untuk mendengar respon dari masyarakatnya. Ketika UU Pilkad diresmikan melalui DPRD maka rakyat secara serentak berontak. Melihat hal tersebut harunya Presiden peka karena memang UU disahkan bersama antara Presiden dengan DPR. Dengan demikian Presiden mempunyai hak untuk tidak meresmikan UU tersebut. Langkah yang pasti bisa dilakukan adalh menggugat UU tersebut ke MK dengan pertimbangan kegentingan dimasyarakat.
UU Pilkada ini memang menjadi perhatian masyarakat karena masyarakat sudah cukup senang karena bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih pemimpinnya sendiri tanpa harus diwakilkan oleh DPRD yang belum tentu bisa memilih pemimpin yang memang disukai oleh masyarakat. Jadi sekarang ketentuan UU Pilkada ada ditangan presiden apabila Presiden sendiri tidak bisa menangani masalah ini, maka tidak mungkin people power akan muncul lagi seperti pada tahun 1998.(begu07).

0 komentar:

Posting Komentar