Era perkembangan teknologi sudah tidak mengenal batas. Dunia maya seakan-akan lebih aktif daripada dunia nyata. Dunia maya (Cyber Space) tidak mengenal batas-batas (borderless) dari daerah sampai sebuah negara. Dunia maya menghubungkan orang-orang dari satu negara ke negara yang lain sehingga batas waktu dan jarak bukan lagi masalah yang berpengaruh dalam kegiatan sehari-hari. Perkembangan dunia maya bagaikan mata pisau bermata dua, disatu sisi mendatangkan manfaat, di sisi lain mendatangkan bahaya bagi pengguna. Perkembangan teknologi di dunia maya memicu semua hal terintegrasi dalam sistem maya, mulai dari layanan sosial, kependudukan, politik, ekonomi, dan bahkan pertahanan keamanan. Hal ini menjadi titik rawan yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang bisa memanfaatkan hal tersebut demi keuntungan pribadi maupun kelompok.
Peningkatan tindak kriminal di dunia maya sangat nyata dan semakin luas terjadi di berbagai belahan dunia. Para pelaku bisa dengan mudah melakukan akses tanpa batas dari suatu negara yang menyerang sistem ekonomi di negara lain. Hal ini menjadi perhatian dari para pakar kemanan dunia maya untuk membentuk sebuah sistem diplomasi di dunia maya (cyber diplomacy).
Di dalam praktek kehidupan antar negara, dikenal istilah diplomasi ketika antar negara sudah menjalankan kerjasama dalam berbagai bidang. Diplomasi ini bertujuan untuk memudahkan kerjasama yang akan dikerjakan sehingga tercipta win-win solution antar negara. Diplomasi yang berjalan antar negara tidak terbatas bergantung pada kesepakatan dan kerjasama yang sudah dijalin antar negara tersebut. Selain itu diplomasi bertujuan sebagai bahan pendingin suasana panas yang terjadi antar negara, misalanya apabila ada terjadi pelanggaran batas wilayah sebuah negara, maka apabila tidak ada diplomasi bisa dipastikan akan terjadi kontak senjata yang melibatkan negara tersebut. Intinya dengan diplomasi bukan hanya keuntungan yang didapat bersama, kerugian juga bisa diatasi bersama oleh suatu negara dengan negara lain.
Kerawanan yang timbul di dunia maya sering melibatkan antar negara. Hal ini tentunya memerlukan diplomasi dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. Diplomasi di dunia maya merupakan hal yang baru sehingga dalam prakteknya masih belum berjalan dengan maksimal. Pelaksanaan diplomasi ini sering mengalami kendala karena beberapa negara sering menjadi sponsor bagi pelaku serangan cyber ke negara lain. Hal ini akan menjadi sebuah dilematis yang dihadapi oleh sebuah negara karena secara jelas bahwa pengusaaan dunia maya akan menjadikan negara tersebut kuat. Selain itu perbedaan terminologi cyber security dengan information security menjadi penghalang bagi relaisasi cyber diplomatic . Negara Amerika menggunakan istilah cyber security untuk mengamankan semua infrastruktur cyber yang digunakan, sementara negara-negara Eropa dan Asia lebih sering menggunakan istilah information security untuk mendukung perlindungan informasi dalam segala bidang bagi umum maupun privat. Oleh karena itu konsensus umum di bidang cyber diplomatic belum bisa dirumuskan.
Melihat hal tersebut akhirnya organisasi negara-negara Eropa (Europe Union) membuat sebuah konsensus umum yang bisa digunakan oleh negara anggota EU dalam menangani serangan di dunia maya. Di dalam konsensus, setidaknya terdapat 6 pilar yang bisa dijadikan sebagai guidelines dalam memujudkan cyber diplomatic (Source:Council of the European Union), yaitu:
- Applicability of rule of law and human rights law in cyberspace;
- Norms of behaviour in cyberspace;
- Cyber capacity building;
- Internet Governance;
- Enhancing the competitiveness and promoting EU economic interest;
- Strategic engagement with key partners and international organizations.
Keenam pilar tersebut mampu menjadi cikal bakal pelaksanaan cyber diplomacy di negara-negara anggota EU kecuali negara Rusia yang masih memiliki kebijakan sendiri dalam menangani sistem information security-nya.
Bagaimana dengan di Indonesia?
akan dibahas dalam tulisan berikutnya.